Pemberitahuan untuk semuanya bahwa sekarang aktifitas blog saya alihkan

Kunjungi blog saya yang baru ya gan rifainews.com
Get Paid To Promote, Get Paid To Popup, Get Paid Display Banner

Inilah Misteri Wajah Dibalik Cadar (Jilid Pertama)

Cadar atau niqab atau purdah atau burqa semenjak satu atau dua dekade lalu menjadi sangat populer, tidak hanya di Indonesia namun di seluruh dunia. Sayangnya, cadar bukan terkenal karena hikmah yang terkandung di baliknya, namun cadar menjadi sangat notorious karena selalu dihubungkan dengan pemerkosaan hak asasi perempuan.

Lebih parah lagi, cadar atau burqa selalu dikaitkan dengan aksi terorisme. Sejak kasus terorisme mencuat, masyarakat awam dunia menjadi antipati dan curiga berlebihan kepada para perempuan pemakai cadar. Cadar tidak hanya sekedar secarik kain penutup wajah, namun cadar merupakan simbol yang kental bernuansa politik. Benarkah demikian?

Dear KoKiers

Debat tentang pelarangan pemakaian cadar mulai menghangat semenjak diberlakukan UU pelarangan pemakaian cadar bagi wanita muslim di Perancis. Diawali dengan Perancis dan kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa lainnya. Pro dan kontra muncul dari berbagai kalangan. Sebagian menyuarakan keprihatinan atas diberlakukannya undang-undang tersebut dan menilai undang-undang ini mengekang kebebasan menjalankan ibadah seseorang. Di lain pihak, banyak pula yang menyuarakan dukungan dan menyatakan bahwa pemakaian full hijab (lengkap dengan cadar) adalah bentuk nyata penindasan terhadap hak perempuan.

Presiden Perancis Nicholas Sarvosky mengemukakan cadar bertentangan dengan nilai-nilai sekuler dan there is no room for full veil in secular country. Pemakaian cadar dianggap to violate the secular values. Dan sudah pasti, Perancis bukanlah tempat bagi mereka yang tidak mau menerima nilai-nilai sekuler.

Benarkah pemakaian cadar adalah wajib bagi setiap muslimah seperti yang diklaim pemakai cadar? Tulisan berikut tidak akan mengungkapkan secara penuh pro dan kontra terhadap cadar menurut ahlinya, namun semata-mata opini pribadi penulis yang tidak mewakili siapapun. Berangkat dari ide setelah membaca sebuah berita di beberapa media on line berkaitan dengan cadar, lahirlah artikel yang bersifat subjektif ini. Karena keterbatasan ilmu, saya mohon maaf jika terjadi banyak kesalahan.

Dear KoKiers,

Beberapa waktu lalu, salah satu stasiun TV pemerintah Australia menayangkan progam dokumenter tentang bisnis kecantikan salon yang mulai marak di Kabul, ibukota Afganistan. Booming bisnis salon kecantikan ternyata makin laris di Kabul dewasa ini. Perempuan Afganistan selama ini dipotretkan sebagai perempuan terbelakang, kumuh lengkap dengan pakaian lebar menyapu tanah plus penutup wajah (burqa) diasumsikan tidak mengenal arti kata keindahan. Tuduhan yang, ternyata, sangat keliru.

Layaknya perempuan, mereka tidak berbeda jauh dari perempuan-perempuan di negara lain. Selama ini, wanita Afganistan dianggap invisible dan misterius dibalik burqa-nya. Jarang orang tahu wajah sang pemakai burqa yang sebenarnya.

Sesuai kodratnya, merekapun ternyata suka bersolek dan memperindah rambutnya. Bedanya, di Afganistan, kecantikan perempuan tidak dipamerkan di depan umum. Kecantikan hanya dipamerkan untuk kalangan keluarga atau sesama jenis, saat terjadi pesta-pesta perkawinan atau kegiatan lain yang umumnya tamu lelaki terpisah dengan tamu perempuan. Pada kesempatan seperti ini, para wanita seperti jor-joran memamerkan kecantikannya di depan koleganya.

Bisnis salon kecantikan dewasa ini sudah mulai tidak malu-malu lagi mempromosikan bisnisnya. Tidak seperti saat Taliban berkuasa. Walau salon-salon kecantikan tetap eksis, namun sangat rahasia dan tersembunyi. Larangan keras bagi perempuan yang keluar rumah dengan berhias sangat membuat perempuan menjadi keder.

Wanita Afganistan Pasca Taliban

Semenjak runtuhnya Taliban, walau kebebasan memakai burqa sudah bukan mandatory lagi, namun masih banyak perempuan yang memilih untuk mempertahankan burqa-nya.

Burqa yang populer di Afgansitan berwarna biru muda yang menutupi seluruh tubuh, tidak terkecuali wajah. Hanya sebuah celah sedikit untuk mata yang biasanya berupa secarik kecil kain kasa. Lewat celah itulah para wanita ini melihat dunia. Siapa nyana, dibalik wajah-wajah ber-burqa tersimpan wajah yang cantik nan eksotik.

Salah seorang serdadu Australia, anggota tentara koalisi pasca Taliban, yang bertugas di Afganistan, memberi kesaksian tentang wanita Afganistan. Menurutnya, wanita-wanita desa ketika sedang tidak memakai burqa sungguh memukau. Many of them are stunning, most of them have very beautiful eyes, dark green nan eksotis. Walaupun, saat tersenyum, tampak gigi mereka yang rusak akibat kurang gizi.

Sejarah Burqa

Burqa untuk masyarakat Afganistan bukanlah barang baru yang dikenalkan oleh pasukan Taliban seperti yang banyak dituduhkan dunia selama ini. Keberadaan burqa telah dikenal jauh sebelum Taliban berkuasa, bahkan jauh sebelum Islam.

Adat pemakaian burqa yang selama ini diklaim milik Islam, ternyata pada jaman dulu juga dipraktekkan oleh perempuan-perempuan Kristen, terutama mereka yang keturunan ningrat. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan antara ningrat rakyat jelata.

Di dalam agama Islam, pemakaian full hijab hanya diwajibkan kepada istri-istri Rasullulah. Hal ini dimaksudkan supaya tidak menimbulkan fitnah dan mencegah atau melindungi diri dari laki-laki yang mempunyai pikiran kotor sehingga terjaga kesucian mereka.

Di dalam teks Al-Qur'an memang ada ayat-ayat yang mewajibkan semua perempuan yang beriman untuk menutup aurat dan menundukkan pandangan. Namun tidak disebutkan untuk menutup wajah. Menurut mayoritas tafsir ulama, wajah tidak wajib untuk ditutup. Argumen ini diperkuat dengan beberapa hadist dan riwayat Rasul.

Pemakaian burqa lebih ke masalah tradisi yang sudah mengurat akar selama ratusan tahun. Di daerah rural, di negara-negara Arab khususnya di daerah-daerah gurun pasir, burqa lebih ditujukan untuk melindungi tubuh dari kerasnya iklim, terutama di musim dingin yang menggigit ataupun di musim panas untuk melindungi dari matahari dan debu. Bentuk burqa-pun bermacam-macam sesuai daerahnya.

Soviet vs Taliban

Ketika Soviet berkuasa di tanah Afganistan, mereka mendobrak adat dan memasukkan konsep kemodernan di segala aspek, termasuk kebebasan berpakaian. Banyak wanita urban yang memilih untuk berpakaian modern (ala Barat).

Pada masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh intelektual yang cenderung berpaham komunis. Kehidupan masyarakat Afganistan bisa dikatakan cukup modern, tidak berbeda jauh dengan negara-negara lainnya. Para pemuda-pemudi pergi ke disko, minum alkohol, dan gaya hedonis lain, khususnya di Kabul. Bukan merupakan hal aneh jika era tahun 1970-an dan 1980-an wanita Afganistan memakai hot pants atau tank tops, misalnya.

Ketika Taliban mulai berkuasa, mereka melakukan upaya besar-besaran untuk merombak tatanan nilai-nilai warisan Soviet dan mulai memberlakukan hukum Islam secara literal dan saklek. Perlakuan terhadap kaum wanita makin represif. Mereka nyaris tidak diberi kebebasan sedikitpun. Selama masa pendudukan Soviet, masih banyak wanita di kampus-kampus atau sekolah-sekolah. Namun, ketika Taliban berkuasa, pemandangan ini nyaris tidak ditemukan lagi.

Menurut salah satu sumber Taliban, dalam pembelaannya terhadap tuduhan-tuduhan dunia, mereka menyangkal bahwa tidak semua yang dituduhkan dunia adalah benar. Taliban saat itu memang membatasi ruang gerak perempuan. Hal ini semata-mata bukan karena meng-cut hak perempuan dalam hal pendidikan, namun semata-mata karena kurangnya fasilitas sarana pendidikan dibanding dengan permintaan.

Jika kita mendengar dari media (baca : Barat) terkesan hampir semua perempuan Afganistan sangat menderita di bawah pemerintahan Taliban. Jika kita membaca media dari kalangan tertentu (baca: media netral atau Islam) banyak yang mengklaim, dewasa ini, masyarakat Afganistan di masa pendudukan Amerika dan kroni-kroninya jauh lebih menderita dibanding masa Taliban. Sekarang, banyak penduduk yang kekurangan pangan, sandang, dan hancurnya sebagian besar infrastrukstur oleh tentara koalisi. Angka pengangguranpun melonjak tajam.

"We miss Taliban," ungkap salah seorang kakek dalam salah satu wawancara dengan media.

Ironisnya, dengan hancurnya Taliban, diharapkan, perempuan Afganistan ramai-ramai membuang burqa-nya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Sebagian besar perempuan memilih untuk mempertahankan burqa-nya.

Tahun 1994, saat pendudukan Soviet runtuh, Taliban mulai berkuasa. Awalnya, nama Taliban nyaris tidak terdengar. Kalau, toch, terdengar hanya sayup-sayup. Tetapi, pasca tragedi 9/11, ujug-ujug nama Afganistan terkenal di seluruh dunia.

Taliban menjadi primadona media bersama Osama bin Laden yang dicurigai bermarkas di Afganistan dan menjadi tokoh spiritual kaum Taliban. Tiba-tiba pula kehidupan masyarakat Afganistan terekspos habis-habisan, lebih banyak negatifnya daripada positifnya. Yang menjadi sorotan utama saat itu perlakukan represif terhadap perempuan dalam segala bidang, termasuk hak dalam memperoleh pendidikan dan yang paling hot adalah burqa. Burqa, oleh banyak orang, dianggap sebagai bentuk nyata 'penjara' terhadap hak perempuan.

Dalam benak masyarakat awam, wajah dibalik burqa identik dengan wajah penuh penderitaan, penindasan dan pemerkosaan hak-hak perempuan, dan segala bentuk beban negatif lainya. Para aktivis feminis pun mengecam keras burqa, khsususnya, dan Islam pada umumnya.

Walau sudah banyak dipahami bahwa burqa ala Afganistan bukanlah kewajiban yang dibebankan oleh Islam, namun tidak urung, Islam menjadi bual-bualan media, khususnya media Barat. In other words, they potray burqa is a part of sharia law. Kata “Sharia Law” pun ujug-ujug meletijit. Bagi mereka, Sharia Law identik dengan hukum rajam, potong tangan, dan penindasan hak perempuan. Gugatan-gugatan para pembela Islam nyaris tidak terdengar. Gencarnya propaganda anti Sharia Law lebih nyaring terdengar.

Sampai saat ini pun, jika orang mendengar kata hukum syari’ah, orang akan tiba-tiba menjadi paranoid. Pemahaman terhadap Sharia Law yang sangat minim, ditunjang berbagai bentuk propaganda, cukup mampu send the shiver down in one's spine. Membuat bulu kuduk merinding.

Orang ramai-ramai menyuarakan antipati terhadap hukum Islam. Potret yang demikian negatif sungguh sangat menyesakkan bagi mereka yang paham betul arti hukum syari’ah. Walau tenggorokan nyaris kering, hanya sedikit sekali yang mendengarkan pemahaman yang benar dibanding dengan propaganda negatif tentang Sharia Law. Seperti yang disebutkan oleh Elizabeth Stewart yang dimuat di The Guardian UK.

    "Sharia law is frequently misunderstood as a draconian criminal justice system governing Muslims. It is instead a broad code of conduct governing all aspects of life - from dietary rules to the wearing of the hijab - which Muslims can choose to adopt in varying degrees as a matter of personal conscience."

Baca Misteri Wajah Dibalik Cadar (Jilid Dua)
http://kolomkita.detik.com

Klik Di sini untuk mendapatkan Backlink Gratis berkualitas --------------------------------------------------->>> Free Automatic Backlink Best Backlinks daily Bookmarks Free 1000 Backlinks Auto Dofollow Backlinks Backlinks Builder Dofollow Backlinks Free Hundred Backlinks Ping your blog, website, or RSS feed for Free
Loading....

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Mercedes-Benz Mobil Mewah Terbaik Indonesia | Bloggerized by Free Blogger Templates | Free Samples