Gaharu: pohon emas yang misterius
“Sudah gaharu cendana pula”, itulah ungkapan sejak ratusan tahun yang lalu. Dari ungkapan tersebut dapat diketahui bahwa garahu dan cendana sudah dikenal sejak lama dan memiliki nilai yang hampir sama atau setara. Cendana dan gaharu merupakan kayu yang sangat tinggi nilainya yang tidak dijual dengan ukuran kubik seperti kayu-kayu lainnya, tetapi dijual dengan ukuran kilogram. Kualitasnyapun sangat bervariasi. Baik cendana maupun gaharu merupakan komoditas ekspor dan keberadaanya sangat terbatas sehingga tata niaganyapun melibatkan berbagai aturan-aturan pemerintah.
Gaharu di alam dihasilkan dari jenis pohon tertentu yang terinfeksi oleh suatu jenis fungi atau cendawan dan hasil infeksi tersebut menghasilkan gubal yang berwarna kehitaman dan berbau wangi dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Jenis pohon yang dapat menghasilkan gubal – gaharu adalah dari spesies Aquilaria malaccensis, Aquilaria filaria, Aquilaria beccariana, Aquilaria cumingiana, Aquilaria hirta, Aquilaria microcarpa, Aquilaria crassna dan Gyrinops leddermannii, dengan demikian di Indonesia gaharu dikelompokkan dalam komoditas kehutanan golongan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Namun tidak semua spesies Aquilaria dan Gyrinops yang tumbuh di alam menghasilkan gaharu, hanya sekitar 10-20%nya. Karena tidak ada tanda-tanda yang spesifik pada Aquilaria dan Gyrinops yang mengandung gaharu, seringkali pemburu gaharu menebang secara asal, dengan demikian banyak pohon yang ditebang tapi tidak terdapat gaharu, akibatnya populasi di alam semakin sedikit. Bahkan LIPI melaporkan bahwa populasi tingkat pertumbuhan pohon saat ini hanya sekitar satu per hektar. Oleh karena itu, A. malaccensis, A. beccariana, A. cumingiana, A. hirta, A. microcarpa dinyatakan dalam status rawan dan A. crassna dalam status kritis menurut IUCN Red List.
Gaharu digunakan sebagai bahan baku parfum, kosmetika, dupa,obat serta bahan penunjang untuk upacara keagamaan dan dalam perdagangan dikenal dengan nama agarwood, aloewood dan eaglewood. Daerah Timur Tengah, China, Korea dan Jepang merupakan Negara-negara pengimpor gaharu dari Indonesia. Beberapa negara pengimpor produk gaharu mengklasifikasikan kualitasnya dengan cara yang berbeda-beda. Indonesia melalui Badan Standarisasi Nasional (BSN) menetapkan tiga kelas dari yang paling tinggi ke yang paling rendah yaitu kelas gubal, kelas kamedangan dan kelas abu. Dari masing-masing kelas tersebut dibagi lagi menjadi beberapa sub-kelas. Pada kelas gubal yang berwarna kehitaman tanpa ada campuran serat kayu, saat ini harganya berkisar Rp 35.000.000 – 40.000.000 per kilogram.
Hasil gaharu dari alam semakin menurun akibat penebangan pada masa lalu yang membabibuta karena terdorong harga yang mahal, sedangkan permintaan gaharu dunia hingga saat ini terus meningkat. Gambar 2 menunjukkan bahwa sejak tahun 2003 terjadi penurunan ketersediaan produk gaharu, sementara permintaan semakin bertambah.
Indonesia merupakan negara yang memiliki kontribusi besar dalam eksport gaharu di pasar dunia. Antara tahun 1995-2003, sekitar 75% gaharu berasal dari Indonesia.
Sebagai negara pengeskpor gaharu, penurunan gaharu alam di Indonesia menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan ekspor. Oleh karena itu, salah satu pola yang dapat dikembangkan adalah dengan budidaya gaharu dengan sistem agroforestry. Budidaya spesies penghasil gaharu tidak hanya memberikan keuntungan secara ekonomi dari hasil gubalnya, tetapi juga berperan dalam pelestarian plasma nutfah.
http://kiprahagroforestri.blogspot.com
“Sudah gaharu cendana pula”, itulah ungkapan sejak ratusan tahun yang lalu. Dari ungkapan tersebut dapat diketahui bahwa garahu dan cendana sudah dikenal sejak lama dan memiliki nilai yang hampir sama atau setara. Cendana dan gaharu merupakan kayu yang sangat tinggi nilainya yang tidak dijual dengan ukuran kubik seperti kayu-kayu lainnya, tetapi dijual dengan ukuran kilogram. Kualitasnyapun sangat bervariasi. Baik cendana maupun gaharu merupakan komoditas ekspor dan keberadaanya sangat terbatas sehingga tata niaganyapun melibatkan berbagai aturan-aturan pemerintah.
Gaharu di alam dihasilkan dari jenis pohon tertentu yang terinfeksi oleh suatu jenis fungi atau cendawan dan hasil infeksi tersebut menghasilkan gubal yang berwarna kehitaman dan berbau wangi dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Jenis pohon yang dapat menghasilkan gubal – gaharu adalah dari spesies Aquilaria malaccensis, Aquilaria filaria, Aquilaria beccariana, Aquilaria cumingiana, Aquilaria hirta, Aquilaria microcarpa, Aquilaria crassna dan Gyrinops leddermannii, dengan demikian di Indonesia gaharu dikelompokkan dalam komoditas kehutanan golongan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Namun tidak semua spesies Aquilaria dan Gyrinops yang tumbuh di alam menghasilkan gaharu, hanya sekitar 10-20%nya. Karena tidak ada tanda-tanda yang spesifik pada Aquilaria dan Gyrinops yang mengandung gaharu, seringkali pemburu gaharu menebang secara asal, dengan demikian banyak pohon yang ditebang tapi tidak terdapat gaharu, akibatnya populasi di alam semakin sedikit. Bahkan LIPI melaporkan bahwa populasi tingkat pertumbuhan pohon saat ini hanya sekitar satu per hektar. Oleh karena itu, A. malaccensis, A. beccariana, A. cumingiana, A. hirta, A. microcarpa dinyatakan dalam status rawan dan A. crassna dalam status kritis menurut IUCN Red List.
Gaharu digunakan sebagai bahan baku parfum, kosmetika, dupa,obat serta bahan penunjang untuk upacara keagamaan dan dalam perdagangan dikenal dengan nama agarwood, aloewood dan eaglewood. Daerah Timur Tengah, China, Korea dan Jepang merupakan Negara-negara pengimpor gaharu dari Indonesia. Beberapa negara pengimpor produk gaharu mengklasifikasikan kualitasnya dengan cara yang berbeda-beda. Indonesia melalui Badan Standarisasi Nasional (BSN) menetapkan tiga kelas dari yang paling tinggi ke yang paling rendah yaitu kelas gubal, kelas kamedangan dan kelas abu. Dari masing-masing kelas tersebut dibagi lagi menjadi beberapa sub-kelas. Pada kelas gubal yang berwarna kehitaman tanpa ada campuran serat kayu, saat ini harganya berkisar Rp 35.000.000 – 40.000.000 per kilogram.
Hasil gaharu dari alam semakin menurun akibat penebangan pada masa lalu yang membabibuta karena terdorong harga yang mahal, sedangkan permintaan gaharu dunia hingga saat ini terus meningkat. Gambar 2 menunjukkan bahwa sejak tahun 2003 terjadi penurunan ketersediaan produk gaharu, sementara permintaan semakin bertambah.
Indonesia merupakan negara yang memiliki kontribusi besar dalam eksport gaharu di pasar dunia. Antara tahun 1995-2003, sekitar 75% gaharu berasal dari Indonesia.
Sebagai negara pengeskpor gaharu, penurunan gaharu alam di Indonesia menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan ekspor. Oleh karena itu, salah satu pola yang dapat dikembangkan adalah dengan budidaya gaharu dengan sistem agroforestry. Budidaya spesies penghasil gaharu tidak hanya memberikan keuntungan secara ekonomi dari hasil gubalnya, tetapi juga berperan dalam pelestarian plasma nutfah.
http://kiprahagroforestri.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment