WikiLeaks kembali membuat heboh negeri ini. Bocoran kawat diplomatik kedubes AS dengan kementerian luar negeri AS dimuat mentah-mentah oleh dua harian ternama di Australia, The Age dan Sydney Morning Herald.
Sontak semua perhatian tertuju pada dua harian tersebut. Apalagi, yang menjadi subyek pembicaraan dalam berita itu adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan pejabat penting di negeri ini. Bahkan, tidak hanya itu, Ibu Negara juga disebut-sebut di dalamnya.
Reaksi bermunculan dari berbagai kalangan. Sumpah serapah juga dilontarkan kepada dua harian itu, bahkan ada pula yang mengaitkan persoalan media massa itu dengan negara dan pemerintah Australia secara langsung. Apa agenda yang diusung Australia di balik itu? Demikian pertanyaan yang kerap terlontar.
'Artikel Sampah', 'berita bohong', 'pepesan kosong', dan lain-lain menjadi kosa kata umum untuk menggambarkan isi pemberitaan itu. Pertanyaannya sekarang, perlukah sikap seperti itu dilontarkan sebagai tanggapan atas pemberitaan tersebut.
Tentu, itu belum pasti tepat. Sebab, persoalan tidak terletak pada dua harian itu, melainkan pada WikiLeaks-nya itu sendiri. Inilah yang luput dari perhatian. The Age maupun Sydney Morning Herald tidak lebih hanya media massa yang menyampaikan informasi.
Perkara isi berita itu benar atau tidak, tentu itu menjadi urusan sumbernya yakni WikiLeaks, bukan hariannya. Sedangkan porsi harian itu hanya menyangkut teknis keredaksian yang dinilai tidak berimbang karena tidak mengonfirmasi kepada pihak yang diberitakan.
Karena itu, sungguh tidak pada tempatnya bila sumpah serapah ditujukan kepada dua surat kabar tersebut. Sasaran seharusnya ditujukan kepada WikiLeaks. Pejabat dan tokoh penting di negeri ini seharusnya juga melakukan hal seperti itu, menyorot agenda apa yang tengah diusung WikiLeaks.
Pihak-pihak di Indonesia seharusnya tidak berlebihan menyikapi pemberitaan itu, tetapi cukup mendudukan persoalan sesuai porsinya. Karena itu, langkah yang dilakukan Presiden SBY dengan memberikan hak jawab sudah lebih dari cukup. Dan, itu cukup disampaikan oleh pembantunya, oleh Menteri Luar Negeri. Presiden cukup memanggil Dubes AS untuk meminta klarifikasi.
WikiLeaks yang menjadi sumber masalah patut mendapat perhatian lebih. Kondisi ini mengingatkan kita pada pemerintah AS saat menyikapi WikiLeaks. Saat itu Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton memberikan keterangan pers.
Hillary dengan penuh percaya diri datang menghampiri wartawan yang sejak lama menanti suara pemerintah mengenai WikiLeaks. Tidak bertele-tele, ia langsung pada pokok masalah. "Pemerintah AS dengan tegas mengutuk pemuatan informasi rahasia secara ilegal. Itu bisa mengancam keselamatan orang, mengancam keamanan nasional, dan menghambat upaya negara bersama negara lain untuk memecahkan persoalan dunia."
Singkat, padat, pada sasarannya. Pernyataan Hillary itu membuka wawasan betapa bocoran WikiLeaks bukan semata persoalan informasi, melainkan menyangkut keamanan dunia dan keselamatan orang banyak.
Itu tidak berbeda dengan informasi mengenai SBY dan pejabat di Tanah Air. Informasi dari WikiLeaks bagaimanapun adalah informasi yang sepotong-sepotong dan tidak utuh. Sebab, itu didasarkan pada percakapan, bukan data akurat. Kita semua tahu bahwa informasi yang sepotong-sepotong akan memunculkan distorsi yang membahayakan.
Dan, itulah yang sedang terjadi. WikiLeaks pun tidak berani menampilkan informasi soal SBY di situsnya sendiri, melainkan menyerahkannya kepada The Age dan Sydney Morning Herald. Padahal, untuk kawat diplomatik lainnya, WikiLeaks memuatnya secara utuh. Ini tentu harus menjadi pertanyaan masyarakat Indonesia.
Sebelum mengakhiri pernyataannya, Hillary juga mengatakan, "Saya tegaskan, pemuatan informasi ini tidak hanya merupakan serangan terhadap kebijakan luar negeri AS, tetapi juga terhadap komunitas internasional, terhadap kerjasama antarnegara untuk menciptakan keamanan global dan kestabilan ekonomi."
Itu juga yang sedang terjadi di Indonesia. Kawat diplomatik yang dibocorkan WikiLeaks soal SBY tidak hanya menyangkut orang per orang, tidak hanya menyangkut individu SBY semata, melainkan harga diri bangsa. Bagaimanapun SBY adalah simbol negara. Ia adalah pemimpin yang dipercaya oleh rakyat Indonesia untuk memimpin negeri ini, untuk mewakili negeri di kancah global.
Tudingan sumir juga tidak hanya menyerang SBY, melainkan pada upaya Indonesia menegakkan demokrasi. Kepercayaan global terhadap Indonesia sebagai negara demokratis bukan tidak mungkin menyusut hanya karena ada informasi sepotong-sepotong. Demokrasi bukan tidak mungkin goyah karena setiap orang di negeri ini saling mencurigai.
Itulah yang sepatutnya menjadi perhatian dan dilontarkan pejabat serta para elite di negeri ini. Kita tentu tidak berharap Hillary Clinton maju membela posisi SBY dan Indonesia. Tidak pula berharap Obama menelepon SBY. Karena, ini selayaknya dilakukan oleh masyarakat Indonesia, oleh masyarakat yang harga dirinya sedang dipermainkan.
http://nasional.inilah.com
Sontak semua perhatian tertuju pada dua harian tersebut. Apalagi, yang menjadi subyek pembicaraan dalam berita itu adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan pejabat penting di negeri ini. Bahkan, tidak hanya itu, Ibu Negara juga disebut-sebut di dalamnya.
Reaksi bermunculan dari berbagai kalangan. Sumpah serapah juga dilontarkan kepada dua harian itu, bahkan ada pula yang mengaitkan persoalan media massa itu dengan negara dan pemerintah Australia secara langsung. Apa agenda yang diusung Australia di balik itu? Demikian pertanyaan yang kerap terlontar.
'Artikel Sampah', 'berita bohong', 'pepesan kosong', dan lain-lain menjadi kosa kata umum untuk menggambarkan isi pemberitaan itu. Pertanyaannya sekarang, perlukah sikap seperti itu dilontarkan sebagai tanggapan atas pemberitaan tersebut.
Tentu, itu belum pasti tepat. Sebab, persoalan tidak terletak pada dua harian itu, melainkan pada WikiLeaks-nya itu sendiri. Inilah yang luput dari perhatian. The Age maupun Sydney Morning Herald tidak lebih hanya media massa yang menyampaikan informasi.
Perkara isi berita itu benar atau tidak, tentu itu menjadi urusan sumbernya yakni WikiLeaks, bukan hariannya. Sedangkan porsi harian itu hanya menyangkut teknis keredaksian yang dinilai tidak berimbang karena tidak mengonfirmasi kepada pihak yang diberitakan.
Karena itu, sungguh tidak pada tempatnya bila sumpah serapah ditujukan kepada dua surat kabar tersebut. Sasaran seharusnya ditujukan kepada WikiLeaks. Pejabat dan tokoh penting di negeri ini seharusnya juga melakukan hal seperti itu, menyorot agenda apa yang tengah diusung WikiLeaks.
Pihak-pihak di Indonesia seharusnya tidak berlebihan menyikapi pemberitaan itu, tetapi cukup mendudukan persoalan sesuai porsinya. Karena itu, langkah yang dilakukan Presiden SBY dengan memberikan hak jawab sudah lebih dari cukup. Dan, itu cukup disampaikan oleh pembantunya, oleh Menteri Luar Negeri. Presiden cukup memanggil Dubes AS untuk meminta klarifikasi.
WikiLeaks yang menjadi sumber masalah patut mendapat perhatian lebih. Kondisi ini mengingatkan kita pada pemerintah AS saat menyikapi WikiLeaks. Saat itu Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton memberikan keterangan pers.
Hillary dengan penuh percaya diri datang menghampiri wartawan yang sejak lama menanti suara pemerintah mengenai WikiLeaks. Tidak bertele-tele, ia langsung pada pokok masalah. "Pemerintah AS dengan tegas mengutuk pemuatan informasi rahasia secara ilegal. Itu bisa mengancam keselamatan orang, mengancam keamanan nasional, dan menghambat upaya negara bersama negara lain untuk memecahkan persoalan dunia."
Singkat, padat, pada sasarannya. Pernyataan Hillary itu membuka wawasan betapa bocoran WikiLeaks bukan semata persoalan informasi, melainkan menyangkut keamanan dunia dan keselamatan orang banyak.
Itu tidak berbeda dengan informasi mengenai SBY dan pejabat di Tanah Air. Informasi dari WikiLeaks bagaimanapun adalah informasi yang sepotong-sepotong dan tidak utuh. Sebab, itu didasarkan pada percakapan, bukan data akurat. Kita semua tahu bahwa informasi yang sepotong-sepotong akan memunculkan distorsi yang membahayakan.
Dan, itulah yang sedang terjadi. WikiLeaks pun tidak berani menampilkan informasi soal SBY di situsnya sendiri, melainkan menyerahkannya kepada The Age dan Sydney Morning Herald. Padahal, untuk kawat diplomatik lainnya, WikiLeaks memuatnya secara utuh. Ini tentu harus menjadi pertanyaan masyarakat Indonesia.
Sebelum mengakhiri pernyataannya, Hillary juga mengatakan, "Saya tegaskan, pemuatan informasi ini tidak hanya merupakan serangan terhadap kebijakan luar negeri AS, tetapi juga terhadap komunitas internasional, terhadap kerjasama antarnegara untuk menciptakan keamanan global dan kestabilan ekonomi."
Itu juga yang sedang terjadi di Indonesia. Kawat diplomatik yang dibocorkan WikiLeaks soal SBY tidak hanya menyangkut orang per orang, tidak hanya menyangkut individu SBY semata, melainkan harga diri bangsa. Bagaimanapun SBY adalah simbol negara. Ia adalah pemimpin yang dipercaya oleh rakyat Indonesia untuk memimpin negeri ini, untuk mewakili negeri di kancah global.
Tudingan sumir juga tidak hanya menyerang SBY, melainkan pada upaya Indonesia menegakkan demokrasi. Kepercayaan global terhadap Indonesia sebagai negara demokratis bukan tidak mungkin menyusut hanya karena ada informasi sepotong-sepotong. Demokrasi bukan tidak mungkin goyah karena setiap orang di negeri ini saling mencurigai.
Itulah yang sepatutnya menjadi perhatian dan dilontarkan pejabat serta para elite di negeri ini. Kita tentu tidak berharap Hillary Clinton maju membela posisi SBY dan Indonesia. Tidak pula berharap Obama menelepon SBY. Karena, ini selayaknya dilakukan oleh masyarakat Indonesia, oleh masyarakat yang harga dirinya sedang dipermainkan.
http://nasional.inilah.com
0 komentar:
Post a Comment