Ilmuwan Bongkar Psikologi Mubarak

Banyak pihak penasaran bagaimana seorang Hosni Mubarak mampu berkuasa 30 tahun. Begitu pula kemampuannya ‘meredam’ demonstran. Inilah keunggulan psikologi seorang Mubarak.

Atropolog biologis Chris Boehm dari University of Southern California mempelajari revolusi dorongan hidup pada manusia dan bagaimana unsur itu mempengaruhi ketegangan unik manusia dari sisi psikologi.

Manusia pada dasarnya merupakan primata hirarkis. Manusia membutuhkan seorang pemimpin dan menyetujui keberadaan otoritas untuk menciptakan sistem teratur lebih luas. Di sisi lain, nenek moyang manusia yang merupakan pemburu-pengumpul, membentuk manusia modern menjadi sekelompok pihak yang sangat egaliter.

Manusia melakukan sesuatu yang terbaik saat kelompok itu bekerja sama. Ketika salah seorang manusia, biasanya pria, mulai melampaui batas maka ia akan ditangani dengan cepat. Ada tindakan menggertak. Upaya inilah yang membantu untuk mencari kebahagian yang tidak statis.

“Dorongan revolusioner merupakan reaksi universal atas kekuasaan yang didapat dengan cara yang tidak sah, ujar psikolog moral Jonathan Haidt dari University of Virginia. Kekuasaan ilegal sendiri pada dasarnya memabukkan. Namun tetap saja, sekelompok manusia selalu mencari kesamaan hak.

“Banyak hal yang dibutuhkan. Keberadaan jejaring sosial, seberapa cepat pergerakan kelompok dari tempat pertama ke posisi demo selanjutnya serta tindakan massal lain. Pola seperti ini selalu muncul dalam diri pemberontak,” kata profesor ilmu politik Ian Lustick dari University of Pennsylvania.

Di sisi lain, meskipun demonstran sudah siap sedia, jangan pernah meremehkan posisi seorang diktator, apalagi presiden. “Diktator tidak menyukai perbedaan pendapat dan dikelilingi para penjilat,” kata Haidt. Karenanya, wajar sekali bila seorang diktator, seperi Presiden Hosni Mubarak, tidak tahu secara pasti kualitas dirinya sendiri.

Menurut Haidt, bukan berarti ketidakmampuan menilai diri sendiri pada Mubarak menyebabkannya lemah. Manusia pada dasarnya memiliki akurasi penilaian tentang orang lain, termasuk kemampuan, temperamental dan bakat, daripada menilai diri sendiri.

Saat sekeliling Mubarak tampak mengagungkan dirinya, tanpa disadari, Mubarak akan memandang dirinya sendiri sangat ‘tinggi’. Inilah, secara sederhana, mengapa siswa Amerika yang memiliki tingkat akademis rendah tetap mampu memiliki kepercayaan diri tinggi. “Coba Anda bayangkan. Skala yang sama ditempatkan pada seorang diktator tua yang menjabat di satu kantor yang sama selama beberapa dekade,” kata Haidt.

Mubarak juga diduga memiliki gangguan mental seperti pendahulunya Anwar Sadat. Menurut dosen di Wodrow Wilson Center di Washington DC, David Ottoway, Sadat melakukan konsolidasi kekuasaan yang sama dengan apa yang dilakukan Mubarak sebelum dibunuh.

Sadat melakukan pelecehan dan penangkapan para lawan politiknya. Saat Barat mengutuk tindakan itu, muncul kabar bahwa Sadat mengalami gangguan mental.

Selanjutnya, keputusan Mubarak untuk mundur sebenarnya sudah dibayangkan petinggi Mesir itu berulang kali. Lustick percaya di banyak kasus, selalu muncul ‘suara lain’ dari dalam diri para diktator.

“Selalu ada suara di benak diktator itu yang memerintahkannya untuk berhenti. Namun, suara tersebut berada di posisi tengah. Sayangnya, suara lain yang terdengar tidak yakin untuk berhenti memiliki porsi lebih besar,” kata Lustick.

Setelah beberapa waktu, seorang diktator akan berhenti khawatir soal masa depan jangka panjang. Mereka akan lebih khawatir soal bahaya atas dampak kesalahan yang mungkin ia lakukan. Karenanya, perubahan keputusan sering muncul begitu cepat.

“Mereka sempat membuat pernyataan untuk tidak akan pernah melepaskan kekuasaan. Namun, tidak lama, mereka menghilang,” kata Lustick lagi. [mdr]